Keluar PMK Nomor 120 Tahun 2023! Berikut Aturan Pembebasan Pajak untuk Pembelian Rumah

Keluar PMK Nomor 120 Tahun 2023! Berikut Aturan Pembebasan Pajak untuk Pembelian Rumah

Pada Tahun 2023, Pemerintah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120, yang menetapkan aturan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah dalam Anggaran 2023. PMK ini secara rinci mengatur aspek teknis pembebasan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp 5 miliar. Apa saja isi dan ketentuan pembebasan pajak pembelian rumah yang diatur dalam PMK Nomor 120 Tahun 2023?

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah dinamika perekonomian global, PMK Nomor 120 Tahun 2023 mencantumkan pertimbangan bahwa dukungan pemerintah perlu diberikan kepada sektor industri perumahan. Untuk mewujudkan dukungan ini dan meningkatkan daya beli masyarakat, PMK tersebut memberikan insentif berupa PPN atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang Ditanggung Pemerintah.

Pasal 2 PMK Nomor 120 Tahun 2023 menetapkan kriteria rumah tapak yang memenuhi syarat untuk mendapatkan PPN DTP, termasuk rumah tinggal atau rumah deret, baik bertingkat maupun tidak bertingkat, dan bangunan tempat tinggal yang sebagian digunakan sebagai toko atau kantor. Sementara itu, rumah susun yang memenuhi syarat untuk PPN DTP adalah yang berfungsi sebagai tempat hunian.

Pasal 3 Ayat 1 menentukan bahwa PPN terutang DTP atas penyerahan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2, terjadi pada dua kondisi: penandatanganan akta jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli lunas di hadapan notaris, dan/atau penyerahan hak secara nyata untuk menggunakan atau menguasai rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni. Ini dibuktikan dengan berita acara serah terima mulai tanggal 1 November 2023 hingga tanggal 31 Desember 2024.

Pasal 4 menyebutkan bahwa syarat rumah tapak dan rumah susun untuk memenuhi kriteria adalah dengan harga jual maksimal Rp 5 miliar, dan keduanya harus dalam kondisi baru dan siap huni.

Dalam Pasal 5, dijelaskan bahwa PPN DTP hanya dapat dimanfaatkan oleh satu orang pribadi untuk perolehan satu rumah tapak atau satu satuan rumah susun. Orang pribadi yang telah memanfaatkan fasilitas PPN DTP atas penyerahan rumah sebelum berlakunya peraturan ini masih dapat memanfaatkan fasilitas PPN yang ditanggung pemerintah sesuai dengan PMK ini.

Definisi orang pribadi mencakup warga negara Indonesia yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau nomor identitas kependudukan. Warga negara asing yang memiliki NPWP juga dapat memperoleh insentif ini asalkan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kepemilikan rumah tapak atau satuan rumah susun.

Pasal 7 Ayat 1 menegaskan dua ketentuan pemberian insentif PPN DTP: pertama, penyerahan dengan tanggal berita acara serah terima mulai tanggal 1 November 2023 sampai 30 Juni 2024, mendapatkan pembebasan 100 persen PPN hingga Rp 2.000.000.000 dengan harga jual maksimal Rp 5.000.000.000; kedua, penyerahan dengan tanggal berita acara serah terima mulai 1 Juli 2024 sampai 31 Desember 2024, mendapatkan pembebasan 50 persen PPN hingga Rp 2.000.000.000 dengan harga jual maksimal Rp 5.000.000.000.

Sebelumnya, Menteri Keuangan dan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sri Mulyani Indrawati, mengumumkan perluasan pembebasan pajak untuk pembelian rumah hingga Rp 5 miliar. Sebelumnya, insentif ini hanya berlaku untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp 2 miliar. Mulyani menjelaskan bahwa PPN DTP berlaku untuk rumah dengan harga hingga Rp 2 miliar, tetapi sekarang diperluas hingga Rp 5 miliar, dengan PPN yang ditanggung pemerintah hanya sampai Rp 2 miliar. Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global yang terus meningkat.

Telepon

+62 21 668 1998

WhatsApp

+62 882 9501 0852

Email

info@konsultanpajakmulyono.com

Facebook/ Instagram/ Tiktok

konsultanpajakmulyono

Alamat Kantor

Jalan Pluit Raya 121 Blok A/12
Penjaringan, Jakarta Utara
14440

Jam Kerja

Senin sampai Jumat 09.00 – 18.00

Copyright © 2023 - All Rights Reserved

Perusahaan Konstruksi Terkena PPh Final

Perusahaan Konstruksi Terkena PPh Final

Pengertian jasa konstruksi menurut undang-undang (UUJK) adalah suatu kegiatan untuk membangun sarana ataupun prasarana yang pada pengerjaannya meliputi pembangunan gedung (building construction), instalasi mekanikal & elektrikal, dan juga pembangunan prasarana sipil (civil engineer). Jasa ini sangat dibutuhkan dalam pembangunan fasilitas umum hingga kantor, oleh karena itu kegiatan ini diatur landasan hukumnya dalam UU No.18 Tahun 1999 yang mengatur Tentang Jasa Konstruksi.Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.

  1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, menjelaskan beberapa item :
    a. Pasal 1 ayat 2 berbunyi, “jasa kontruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi”
    b. Pasal 2 ayat 1 berbunyi, “atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
    c. Usaha jasa konstruksi pada Pasal 2 ayat 1 dilakukan melalui kegiatan berupa layanan :
    Konsultansi konstruksi
    Mencakup layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan
    Pekerjaan konstruksi
    Mencakup kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran dan pembangunan kembali suatu bangunan
    Pekerjaan konstruksi terintegrasi
    Mencakup gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi termasuk penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan, perencanaan dan pembangunan

  2. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/PMK.03/2022 menjelaskan beberapa item
    – huruf C menjelaskan tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 usaha jasa kontruksi sebagai berikut :

    HURUF

    TARIF

    KETERANGAN

    LAYANAN

    a

    1,75%

    Untuk pekerjaan konstruksi yang oleh penyedia jasa yang memiliki sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;

    Pekerjaan konstruksi

     

    b

    4%

    untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;

    Pekerjaan konstruksi

     

    c

    2,65%

    untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

    Pekerjaan konstruksi

     

    d

    2,65%

    untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki sertifikat badan usaha;

    Pekerjaan konstruksi terintegrasi

     

    e

    4%

    untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha;

    Pekerjaan konstruksi terintegrasi

     

    f

    3.5%

    Untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan; dan

    Konsultansi konstruksi

     

    g

    6%

    untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan

    Konsultansi konstruksi

     

    – huruf D menjelaskan mekanisme pemotongan pph final atas jasa konstruksi yaitu besarnya jumlah pembayaran (bagian dari nilai kontrak jasa konstruksi) yang tidak termasuk PPN dikalikan tarif PPH Final yang disesuaikan dengan jenis layanan konstruksi. Instansi pemerintah wajib menyetor PPh yang telah dipotong ke kas negara melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk Menteri menggunakan Surat Setoran Pajak dan memberikan bukti pemotongan PPH kepada penyedia jasa konstruksi.

    Contoh Perhitungan dan Pemotongan PPH Pasal 4 ayat 2 usaha jasa konstruksi

  3. Putusan Pengadilan Terkait PPH Final atas Jasa Konstruksi

    PUT.36919/PP/M.IV/25/2012
    Dalam kasus ini pokok sengketa yaitu koreksi positif DPP Pajak Penghasilan Pasal 4(2) Final sebesar Rp 161.005.179,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding

    Menurut Terbanding
    Terbanding menyetujui bahwa tidak semua aktiva tetap yang disimpulkan oleh pemeriksa sebagai ojek PPh Pasal 4 ayat (2) dikerjakan oleh penyedia jasa konstruksi. Terbanding tidak dapat melakukan pengujian sebagaimana mestinya karena belum ada data/dokumen yang cukup untuk melakukan pengujian (misalnya belum ada SPT Masa PPh Pasal 4 (2) Final tahun 2006 dll) maka Terbanding mempertahankan Objek Pajak yang menurut Pemohon Banding merupakan Objek Pajak tahun 2006 senilai Rp 161.005.179 sehingga menurut Terbanding Objek PPh Pasal 4 ayat 2 final jasa konstruksi sebesar Rp 747.755.923,00.

    Menurut Pemohon
    Bahwa koreksi sebesar Rp 161.005.179,00 tersebut didapat dari perbedaan hitungan Peneliti dan Pemohon Banding.

    Menurut Majelis
    Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis diperoleh petunjuk bahwa Terbanding melakukan koreksi positif DPP Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) Final sebesar Rp 161.005.179,00 berdasarkan ekualisasi SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) dengan daftar pertambahan aktiva tetap di neraca ; bahwa Pemohon Banding dalam Persidangan pada intinya menegaskan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diberikan terbukti bahwa Pemohon Banding telah membebankan dan melaporkan PPh Jasa Konstruksi tersebut pada tahun 2006, sehingga koreksi Terbanding harus dibatalkan; bahwa dokumen yang diserakan Pemohon Banding:

    • Rekap equalisasi PPh Pasal 4 (2) – Jasa Konstruksi
    • Daftar Bukti Potong
    • Bukti Potong PPh
    • SPM PPh Pasal 4 (2)
    • SPM PPh Pasal 21

    Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi positif DPP Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) Final sebesar Rp 161.005.179,00 tidak dapat dipertahankan;

Telepon

+62 21 668 1998

WhatsApp

+62 882 9501 0852

Email

info@konsultanpajakmulyono.com

Facebook/ Instagram/ Tiktok

konsultanpajakmulyono

Alamat Kantor

Jalan Pluit Raya 121 Blok A/12
Penjaringan, Jakarta Utara
14440

Jam Kerja

Senin sampai Jumat 09.00 – 18.00

Copyright © 2023 - All Rights Reserved

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Bagi Instansi Pemerintah

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Bagi Instansi Pemerintah

Pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) adalah pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan jasa tertentu dan sumber tertentu (jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadiah undian dan lainnya).

Mengacu pada Pasal 9 PMK Nomor 59 Tahun 2022 terkait objek pajak pada pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 mencakup :
a) Persewaan tanah dan/atau bangunan
b) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
c) Usaha jasa konstruksi
d) Hadiah undian
e) Pembelian barang atau penggunaan jasa dari wajib pajak yang memiliki peredaran bruto

Tidak termasuk pembayaran atas persewaan tanah dan/atau bangunan yaitu pembayaran atas penggunaan jasa pelayanan penginapan serta akomodasinya.

Dalam pasal 9 ayat (4) PMK Nomor 59 Tahun 2022, instansi pemerintah tidak melakukan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) atas :

a. Sebagian atau seluruh pembayaran pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
1. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah penghasilan yang tidak kena pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah
2. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan; atau
3. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan

b. Pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut pajak penghasilan Pasal 22 oleh Pihak Lain

Berikut terkait penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 Ayat (2) bagi instansi pemerintah, yaitu :

A. Penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 Ayat (2) persewaan tanah dan/ atau bangunan

  1. lnstansi pemerintah wajib memotong pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan, baik sebagian maupun seluruh bangunan, kepada orang pribadi atau badan
  2. Pembayaran tersebut kepada orang pribadi atau badan pemegang hak atas tanah terkait dengan pelaksanaan perjanjian bangun guna serah, meliputi:
    a. pembayaran berkala selama masa perjanjian bangun guna serah;
    b. penyerahan bangunan sebelum perjanjian bangun guna serah berakhir;
    c. penyerahan bangunan yang diserahkan atau seharusnya diserahkan pada saat perjanjian bangun guna serah berakhir; dan/atau
    d. pembayaran lain terkait perjanjian bangun guna serah, termasuk bagi hasil penggunaan bangunan dan denda perjanjian bangun guna serah.
  3. Besarnya pemotongan pajak penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan
  4. Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan pada angka 3 merupakan semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
  5. Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan pada angka 3 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dalam bentuk bangunan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b dan huruf c merupakan nilai bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah dari Instansi Pemerintah.
  6. Nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada angka 5 ditentukan berdasarkan nilai yang tertinggi antara nilai pasar dan nilai jual objek pajak bangunan.

B. Penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 Ayat (2) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

  1. Instansi pemerintah wajib memotong pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) atas pembayaran kepada orang pribadi atau badan dari:
    a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
    b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/ atau bangunan beserta perubahannya
  2. Pembayaran tersebut merupakan pembayaran kepada pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak
  3. Pembayaran pada angka 1 huruf b merupakan pembayaran kepada:
    a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani; atau
    b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
  4. Besarnya potongan dapat dilihat sebagai berikut :
    a) 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapatkan penugasan khusus dari pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; atau badan usaha milik negara
    b) 1 % (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; atau
    c) 2,5% (dua koma Iima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.

C. Penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 Ayat (2) usaha jasa konstruksi

  1. Instansi pemerintah wajib memotong pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) atas pembayaran kepada penyediajasa konstruksi.
  2. Besarnya pemotongan pajak penghasilan pada angka 1 adalah sebesar:
    a) 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;
    b) 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;
    c) 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
    d) 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh penyediajasa yang memiliki sertifikat badan usaha;
    e) 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha;
    f) 3,5% (tigakomalima persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan; dan
    g) 6% (enam persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan.
  3. Besarnya pajak penghasilan yang dipotong pada angka 1 adalah jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif PPh sebagaimana dimaksud pada angka 2.
  4. Jumlah pembayaran pada angka 3 merupakan bagian dari nilai kontrak jasa konstruksi.

D. Penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 Ayat (2) hadiah undian

  1. Instansi pemerintah wajib memotong pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) atas pembayaran dan/ atau penyerahan hadiah yang diberikan melalui undian, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
  2. Besarnya pemotongan pajak penghasilan pada angka 1 sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah undian
  3. Nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar jika hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura dan/atau barang.

E. Penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 4 Ayat (2) pembelian barang atau penggunaan jasa dari wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu

  1. Instansi Pemerintah dalam kedudukannya sebagai pembeli barang atau pengguna jasa wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan tarif 0,5% (nol koma lima persen) dari penghasilan bruto terhadap Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
  2. Pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan yang bersifat final pada angka 1 sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
    a. Wajib Pajak bersangkutan harus menyerahkan fotokopi Surat Keterangan dimaksud kepada Instansi Pemerintah; dan
    b. dilakukan untuk setiap transaksi yang merupakan:
    1) objek pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan ; dan
    2) objek pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,yang memiliki peredaran bruto tertentu.

PUTUSAN PUT.28867/PP/M.X/25/2011

Menurut sengketa dalam banding ini adalah koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan (DPP PPh) Pasal 4 ayat (2) Tahun Pajak 2005 sebesar Rp. 2.428.730.112,00.

Menurut Terbanding bahwa pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi tidak berdasarkan kondisi bangunan, melainkan jumlah nilai kontrak, dalam tagihan yang diterima Pemohon Banding telah dirinci antara pembelian material dan ongkos jasanya, tetapi jumlah tersebut tidak dapat ditelusuri ke dalam pembukuan Pemohon Banding karena dalam pencatatannya tidak disebutkan dokumen sumber dan tanggal transaksi yang menjadi dasar pencatatan tersebut sehingga tidak dapat dilakukan penelitian lebih lanjut, berdasarkan hal tersebut, maka koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa tetap dipertahankan

Menurut Pemohon bahwa kekeliruan perhitungan matematis itu terjadi karena dalam melakukan rekonsiliasi Pemeriksa menambahkan biaya yang ada dalam laporan keuangan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2), dengan objek PPh Pasal 4 ayat (2), selama periode Januari 2006 sampai dengan Maret 2006 dan kemudian mengurangkan dengan objek PPh Pasal 4 ayat (2) untuk periode Januari 2005 sampai dengan Maret 2005 untuk mendapatkan objek PPh Pasal 23 untuk Tahun Pajak 2005, bahwa kesalahan tulis / ketik objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan kesalahan ketik pelunasan / pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2)

Menurut Majelis, berdasarkan Surat Banding dan keterangan Pemohon Banding dalam persidangan diketahui :

  • Supplier/Perusahaan jasa tersebut tidak memiliki ijin/sertifikat usaha konstruksi seperti yang disyaratkan oleh PP Nomor 140 Tahun 2000,
  • Dalam invoice tagihan bisa dipisahkan antara tenaga kerja dan material,
  • Biaya tenaga kerja telah Pemohon Banding potong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada masa November 2005.

bahwa Majelis berkesimpulan oleh karena biaya renovasi gedung sebesar Rp. 1.154.411.874,00 tidak memenuhi persyaratan sesuai PP Nomor 140 Tahun 2000 maka biaya tersebut bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

Telepon

+62 21 668 1998

WhatsApp

+62 882 9501 0852

Email

info@konsultanpajakmulyono.com

Facebook/ Instagram/ Tiktok

konsultanpajakmulyono

Alamat Kantor

Jalan Pluit Raya 121 Blok A/12
Penjaringan, Jakarta Utara
14440

Jam Kerja

Senin sampai Jumat 09.00 – 18.00

Copyright © 2023 - All Rights Reserved

PMK 66 Tahun 2023 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan

PMK 66 Tahun 2023 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan

Aturan pajak natura terbit pada bulan Juni tahun 2023 yang menyatakan bahwa adanya atas fasilitas yang diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan dikenakan pajak penghasilan (PPh). PMK 66 Tahun 2023 resmi mulai berlaku 1 Juli 2023, sehingga perusahan wajib melakukan pemotongan PPh atas pemberian natura yang melebihi batasan nilai.

Secara jenisnya, ada natura yang merupakan penghasilan dan bukan penghasilan. Pemerintah memastikan fasilitas alat kerja yang diterima pegawai tidak akan dikenakan pajak natura. Peraturan ini juga merupakan aturan yang sangat di tunggu-tunggu oleh Wajib Pajak, sebab Kementrian Keuangan sudah menjanjikan adanya pengecualian-pengecualian yang diperkenankan dan pengaturan teknis lainnya.

Setelah hampir 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan UU HPP di akhir tahun 2021, dan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 PP 55 akhir tahun 2 Desember 2022, maka pengaturan teknis perlakuan pajak atas natura dan kenikmatan sudah merupakan objek pajak, namun diatur secara lebih ketat dan terarah.

Natura merupakan pemberian barang atau kenikmatan dan bukan dalam bentuk uang. PMK 66 Tahun 2023 mengatur tentang bagaimana perlakuan pembebanan biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, ruang lingkup pembebanan biaya yaitu biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenan dengan pekerjaan atau jasa dan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Lalu biaya sehubungan dengan pekerjaan merupakan biaya yang berkaitan dengan hubungan pemberi kerja dengan pegawai, dan biaya sehubungan dengan jasa merupakan biaya karena adanya transaksi jasa antar Wajib Pajak. Terdapat ketentuan teknis pembebanan biaya, yaitu:

  1. Pengeluaran untuk biaya kenikmatan yang memiliki manfaat > 1 tahun dibebankan melalui penyusutan/amortisasi
  2. Pengeluaran untuk biaya natura atau kenikmatan yang memiliki masa manfaat < 1 tahun dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
  3. Pemberi kerja/pemberi penggantian atau imbalan melaporkan biaya natura/kenikmatan dalam SPT Tahunan PPh.
  4. Ketentuan berlaku:
    • Awal tanggal 1 Januari 2022, bagi pemberi dengan tahun buku 2022 dimulai 1 Januari 2022
    • Awal tahun buku 2022, bagi pemberi dengan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya.

Natura dan/atau kenikmatan sebagai Objek Pajak, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf 1 UU PPh stdtd UU HPP. Ruang Lingkup pengganti/imbalan sehubungan dengan pekerjaan berkaitan dengan hubungan kerja antara peberi kerja dan pegawai, pengganti/imbalan sehubungan dengan jasa karena adanya transaksi jasa antar Wajib Pajak. Penggantian/imbalan dalam bentuk Natura barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima contohnya mobil ex-dinas untuk pegawai, pengganti/imbalan dalam bentuk kenikmatan fasilitas dan/atau yang pelayanan yang bersumber dari aktiva yaitu, pemberi dan/atau pihak ketiga yang disewa dan/atau dibiayai pemberi, untuk dimanfaatkan oleh penerima contohnya yaitu fasilitas mobil dinas.

Natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh yaitu berupa makanan, bahan makanan, bahan minuman dan/atau minuman bagi selusuh pegawai, natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu, natura yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan, natura dengan jenis batasan tertentu, natura yang bersumber atau dibiayai APBD, APBD, dan/atau APBDesa.

Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan, sehubungn dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau Lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Natura dan/atau kenikmatan meliputi pakaian seragam, peralatan untuk keselamatan kerja, sarana antar jemput pegawai, penginapan untuk awak kapal dan sejenjisnya, natura yang diterima dalam rangka penanganan pandemik atau bencana sosial.

Lebih lanjut, natura dan/atau kenikmatan dinilai berdasarnya nilai pasar untuk natura dan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi untuk kenimatan. Dalam hal natura merupakan barang yang dari semula ditunjukkan untuk diperjual-belikan oleh pemberi bentuk tanah dan/atau bangunan dinilai berdasarkan nilai pasar atau selaian tanah dan bangunan dinilai berdasarkan harga pokok penjualan (HPP), penilaian atas kenikmatan dengan masa pemanfataan lebih dari satu bulan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan dilakukan setiap bulan selama masa pemanfaatan kenikmatan. Dalam hal kenikmatan diberikan kepada lebih dari satu penerima atas suatu fasilitas maka dasar peneilaian dialokasikan secara proporsional berdasarkan pencatatan pemanfaatan kenikmatan.

Sumber:
PMK 66 Tahun 2023 ini berlaku 1 Juli 2023.

Telepon

+62 21 668 1998

WhatsApp

+62 882 9501 0852

Email

info@konsultanpajakmulyono.com

Facebook/ Instagram/ Tiktok

konsultanpajakmulyono

Alamat Kantor

Jalan Pluit Raya 121 Blok A/12
Penjaringan, Jakarta Utara
14440

Jam Kerja

Senin sampai Jumat 09.00 – 18.00

Copyright © 2023 - All Rights Reserved

Beli Emas Perhiasan Dikenakan Pajak PPN?

Beli Emas Perhiasan Dikenakan PPN?

Kamu tertarik untuk mengkoleksi perhiasan emas tapi belum tahu kalau penjual perhiasan emas diwajibkan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penyerahan kepada konsumen akhir? Agar lebih paham, yuk simak penjelasan berikut.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada Emas Perhiasan

Pada dasarnya, pemerintah mewajibkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) perhiasan emas untuk memungut PPN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2023. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dimaksud bisa saja merujuk pada salah satu dari 2 (dua) PKP Emas Perhiasan, yakni:

  1. Pabrikan Emas Perhiasan, merupakan pengusaha yang menghasilkan Emas Perhiasan dan melakukan kegiatan jual beli Emas Perhiasan dan/atau penyerahan jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan.
  2. Pedagang Emas Perhiasan, merupakan pengusaha yang melakukan kegiatan jual beli Emas Perhiasan dan/atau penyerahan jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan.

Artinya, apabila kamu sebagai konsumen akhir berminat untuk melakukan pembelian perhiasan emas langsung ke pabriknya, hal ini tetap tidak akan menghindarkan kamu dari pemungutan PPN atas pembelian tersebut.

PPN untuk Pembelian Perhiasan Emas dari Pabrikan

Sebagaimana tertera dalam Pasal 14 Ayat (3) PMK No. 48 Tahun 2023, Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pabrikan Emas diwajibkan untuk memungut sebesar 15% (lima belas persen) dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) UU PPN, yaitu sebesar 11% (sebelas persen), lalu dikalikan dengan harga jual atas penyerahan emas perhiasan hasil produksinya sendiri kepada konsumen akhir. Dapat disimpulkan bahwa besaran tarif yang wajib dipungut oleh Pabrikan Emas kepada konsumen akhir yakni sejumlah 1,65% (satu koma enam puluh lima persen) dari harga jual.

Jika ditilik dari peraturan sebelumnya, yaitu Pasal 3 PMK No. 30 Tahun 2014 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Emas Perhiasan, besaran tarif PPN terhadap penyerahan perhiasan emas yang diterapkan saat ini mengalami penurunan tarif sebesar 0,35% dikarenakan tarif PPN yang dikenakan sebelumnya ialah 2% dari harga jual.

Contoh Perhitungan

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan untuk menghitung PPN atas penyerahan emas perhiasan oleh Pabrikan Emas kepada konsumen akhir:

PPN = 11% x Tarif x Harga Jual Emas Perhiasan atau Nilai Penggantian

Contoh Soal:

PT. VDP merupakan Pabrikan Emas Perhiasan yang juga menjual emas perhiasan hasil produksinya sendiri. PT. VDP menjual emas perhiasan sebesar 5 gram dengan nilai jual Rp5.000.000 (lima juta rupiah). Maka besar PPN emas perhiasan atas penyerahan tersebut yaitu:

Harga jual emas = Rp5.000.000

PPN                    = 11% x 15% x Rp5.000.000

                           = 1,65% x Rp5.000.000

                           = Rp82.500

PPN untuk Pembelian Perhiasan Emas dari Pedagang Emas Perhiasan

Berdasarkan Pasal 14 Ayat (4) PMK No. 48 Tahun 2023, Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pedagang Emas Perhiasan diwajibkan untuk memungut sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) UU PPN, yaitu sebesar 11% (sebelas persen), lalu dikalikan dengan harga jual atas penyerahan emas perhiasan kepada konsumen akhir apabila PKP Pedagang Emas Perhiasan memiliki Faktur Pajak dan/atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Namun, tarif berbeda diberlakukan apabila PKP Pedagang Emas tidak memiliki Faktur Pajak dan/atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Apabila terjadi hal demikian, maka PKP Pedagang Emas Perhiasan diwajibkan untuk memungut PPN sebesar 15% (lima belas persen) dari harga jual atas penyerahan emas perhiasan kepada konsumen akhir.

Atas penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa besaran tarif yang wajib dipungut oleh Pedagang Emas Perhiasan kepada konsumen akhir jika memiliki Faktur Pajak dan/atau dokumen serupa yakni sejumlah 1,1% (satu koma satu persen) dari harga jual dan apabila tidak memiliki Faktur Pajak dan/atau dokumen serupa yakni sejumlah 1,65% (satu koma enam puluh lima persen) dari harga jual.

Contoh Perhitungan

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan untuk menghitung PPN atas penyerahan emas perhiasan oleh Pedagang Emas Perhiasan kepada konsumen akhir:

PPN = 11% x Tarif x Harga Jual Emas Perhiasan atau Nilai Penggantian

Contoh Soal:

PT. TWIN merupakan Pedagang Emas Perhiasan. Dalam masa pajak November 2023, PT TWIN melakukan penyerahan kepada konsumen akhir sebagai berikut:

  1. Penyerahan Emas Perhiasan kepada konsumen akhir dengan total harga jual sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) yang atas perolehannya memiliki Faktur Pajak
  2. Penyerahan Emas Perhiasan dengan nilai jual Rp15.000.000 yang atas perolehannya tidak memiliki Faktur Pajak.

Maka besar PPN emas perhiasan atas penyerahan emas perhiasan oleh PT. TWIN kepada konsumen akhir tersebut yaitu:

  1. Untuk penyerahan Emas Perhiasan kepada konsumen akhir yang atas perolehannya memiliki Faktur Pajak
    Total harga jual emas = Rp500.000.000
    PPN                             = 11% x 10% x Rp500.000.000
                                        = 1,65%% x Rp500.000.000
                                        = Rp5.500.000
  2. Untuk penyerahan Emas Perhiasan kepada konsumen akhir yang atas perolehannya tidak memiliki Faktur Pajak
    Total harga jual emas  = Rp15.000.000
    PPN                             = 11% x 15% x Rp15.000.000
                                        = 11% x Rp50.000.000
                                        = Rp8.250.000
Telepon

+62 21 668 1998

WhatsApp

+62 882 9501 0852

Email

info@konsultanpajakmulyono.com

Facebook/ Instagram/ Tiktok

konsultanpajakmulyono

Alamat Kantor

Jalan Pluit Raya 121 Blok A/12
Penjaringan, Jakarta Utara
14440

Jam Kerja

Senin sampai Jumat 09.00 – 18.00

Copyright © 2023 - All Rights Reserved

Apa itu Sengketa Pajak?

Sengketa pajak adalah perselisihan atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak (WP) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait dengan kewajiban pembayaran pajak. Sengketa ini dapat terjadi ketika WP merasa tidak setuju dengan hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP atau ketika WP merasa dirugikan oleh kebijakan atau tindakan DJP terkait perpajakan.

Sengketa pajak dapat timbul dalam berbagai bentuk, seperti sengketa mengenai besaran pajak yang harus dibayarkan, sengketa mengenai pemotongan atau pemungutan pajak yang tidak sesuai, atau sengketa mengenai penilaian atau penghitungan aset atau penghasilan WP yang dianggap tidak benar oleh DJP.

Proses penyelesaian sengketa pajak dapat melalui beberapa tahapan, mulai dari upaya penyelesaian secara kekeluargaan (verbal), penyelesaian melalui musyawarah, mediasi, hingga penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau pengadilan pajak.

Sebelum mengajukan sengketa pajak ke lembaga penyelesaian sengketa, WP diharapkan untuk melakukan upaya penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar WP dan DJP dapat mencari solusi yang saling menguntungkan dan menghindari proses yang panjang dan memakan biaya.

Jika upaya penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil, WP dapat mengajukan sengketa pajak ke lembaga penyelesaian sengketa, seperti musyawarah, mediasi, atau lembaga arbitrase. Musyawarah merupakan proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak WP dan DJP serta pihak ketiga yang netral dan independen. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan mediator yang bertindak sebagai pihak yang tidak memihak dan membantu WP dan DJP mencapai kesepakatan.

Jika musyawarah atau mediasi tidak berhasil, WP dapat mengajukan sengketa pajak ke pengadilan pajak. Pengadilan pajak adalah lembaga peradilan yang khusus menangani sengketa pajak antara WP dengan DJP. Pengadilan pajak memiliki hakim yang independen dan berwenang untuk memutuskan sengketa pajak berdasarkan hukum pajak yang berlaku.

Proses penyelesaian sengketa pajak melalui pengadilan pajak terdiri dari beberapa tahapan, seperti pendaftaran perkara, persidangan, pembuktian, dan putusan. Keputusan pengadilan pajak bersifat final dan mengikat bagi pihak yang bersengketa, kecuali ada alasan yang kuat untuk mengajukan banding ke pengadilan tinggi.

Sengketa pajak merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pemahaman yang baik tentang hukum perpajakan. Oleh karena itu, sebaiknya WP mendapatkan bantuan dari ahli hukum perpajakan atau konsultan pajak yang berpengalaman dalam penyelesaian sengketa pajak.

Demikianlah penjelasan lengkap mengenai sengketa pajak. Semoga informasi ini bermanfaat bagi Anda yang ingin memahami lebih dalam mengenai sengketa pajak dan proses penyelesaiannya.

Dampak Kenaikan Pajak Hiburan Bagi Pengusaha Hiburan

Apakah Anda seorang pengusaha hiburan yang sedang menghadapi kenaikan pajak hiburan? Jangan khawatir! Kenaikan pajak hiburan memang bisa memiliki dampak signifikan bagi pengusaha hiburan, baik itu penyelenggara konser atau pemilik bioskop. Artikel ini akan membahas beberapa dampak yang mungkin Anda alami akibat kenaikan pajak hiburan ini.

Peningkatan Biaya Operasional

Salah satu dampak langsung dari kenaikan pajak hiburan adalah peningkatan biaya operasional. Dengan adanya pajak yang lebih tinggi, pengusaha hiburan harus menyesuaikan anggaran mereka untuk membayar pajak yang lebih besar. Hal ini dapat mempengaruhi keuntungan bersih yang diperoleh oleh pengusaha hiburan, karena sebagian besar pendapatan mereka harus digunakan untuk membayar pajak.

Potensi Penurunan Pendapatan

Kenaikan pajak hiburan juga dapat berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan bagi pengusaha hiburan. Ketika harga tiket atau harga minuman di klub malam naik untuk menutupi biaya pajak yang lebih tinggi, konsumen mungkin menjadi enggan untuk menghabiskan uang mereka di tempat hiburan tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah pengunjung dan pendapatan yang diperoleh oleh pengusaha hiburan.

Persaingan yang Lebih Ketat

Dalam situasi di mana pajak hiburan meningkat, persaingan di industri hiburan dapat menjadi lebih ketat. Pengusaha hiburan harus bersaing dengan harga yang lebih tinggi dan menarik konsumen agar tetap memilih tempat hiburan mereka daripada yang lain. Hal ini dapat memaksa pengusaha hiburan untuk menawarkan promosi atau diskon yang lebih menarik untuk menarik minat konsumen.

Penyesuaian Strategi Pemasaran

Untuk mengatasi dampak kenaikan pajak hiburan, pengusaha hiburan perlu melakukan penyesuaian strategi pemasaran mereka. Mereka perlu mencari cara baru untuk menarik pelanggan dan mempertahankan pangsa pasar mereka. Misalnya, mereka dapat fokus pada pemasaran digital dan media sosial untuk mencapai audiens yang lebih luas dengan biaya yang lebih rendah.

Peningkatan Inovasi

Kenaikan pajak hiburan juga dapat memicu pengusaha hiburan untuk lebih inovatif dalam menciptakan pengalaman yang unik bagi pelanggan mereka. Mereka perlu berpikir di luar kotak dan menawarkan sesuatu yang berbeda untuk menarik perhatian konsumen. Misalnya, mereka dapat mengadakan acara tema khusus atau menampilkan artis-artis yang sedang naik daun untuk meningkatkan daya tarik tempat hiburan mereka.

Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah

Penting bagi pengusaha hiburan untuk menjalin kolaborasi dengan pemerintah daerah dalam menghadapi kenaikan pajak hiburan. Mereka dapat berdiskusi dengan pihak berwenang untuk mencari solusi yang saling menguntungkan, seperti pengurangan pajak atau insentif lainnya. Kolaborasi ini dapat membantu mengurangi beban pajak yang harus dibayar oleh pengusaha hiburan.

Jadi, meskipun kenaikan pajak hiburan dapat memiliki dampak yang signifikan bagi pengusaha hiburan, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi dampak tersebut. Dengan penyesuaian strategi pemasaran, inovasi, dan kolaborasi dengan pemerintah daerah, pengusaha hiburan dapat tetap bertahan dan sukses di tengah tantangan ini.

Dasar Hukum Kenaikan PPN Naik 11%

Harga-harga barang dan jasa yang kita beli setiap hari dapat berubah dengan cepat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah tingkat Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak yang dikenakan pada penjualan barang dan jasa di Indonesia.

Baru-baru ini, terjadi kenaikan PPN sebesar 11%. Kenaikan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan di benak kita, seperti apa dasar hukum kenaikan PPN ini?

Dasar hukum kenaikan PPN naik 11% ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Undang-Undang ini merupakan dasar hukum utama yang mengatur tentang PPN di Indonesia.

Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat pasal-pasal yang menjelaskan mengenai tarif PPN yang berlaku. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa tarif PPN adalah sebesar 10% dari harga jual. Namun, dalam situasi tertentu, pemerintah berhak untuk menaikkan tarif PPN ini.

Salah satu situasi yang memungkinkan kenaikan tarif PPN adalah dalam rangka mengatasi keadaan darurat ekonomi nasional. Pada tahun 2021, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang cukup berat akibat pandemi COVID-19. Pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 11% sebagai salah satu langkah untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dan mendukung pemulihan ekonomi.

Keputusan untuk menaikkan tarif PPN ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa yang Dikenakan Tarif 11 Persen. Peraturan ini menjelaskan secara rinci mengenai implementasi kenaikan tarif PPN dan juga mengatur mengenai barang dan jasa yang terkena PPN.

Dalam peraturan tersebut, terdapat juga penjelasan mengenai beberapa barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN yang lebih rendah atau dibebaskan dari PPN. Hal ini dilakukan untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu agar tidak terbebani dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN.

Selain itu, peraturan ini juga mengatur mengenai tata cara pelaporan, pembayaran, dan penyetoran PPN kepada Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam transaksi penjualan barang dan jasa mematuhi kewajiban perpajakan yang telah ditetapkan.

Secara keseluruhan, dasar hukum kenaikan PPN naik 11% ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2021. Kenaikan ini dilakukan dalam rangka mengatasi tantangan ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia akibat pandemi COVID-19.

Sebagai warga negara yang baik, penting bagi kita untuk memahami dasar hukum ini dan mematuhi kewajiban perpajakan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kita dapat berkontribusi dalam membangun ekonomi negara dan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi kita semua.

E-Registration Pajak Solusi Tepat untuk Wajib Pajak di Era Digital

Di era digital saat ini, teknologi telah merubah banyak aspek kehidupan kita, termasuk dalam hal administrasi pajak. Untuk memudahkan proses registrasi pajak bagi wajib pajak, pemerintah telah menyediakan layanan e-registration pajak yang dapat diakses secara online.

E-registration pajak adalah sistem pendaftaran pajak yang dilakukan secara elektronik. Dengan menggunakan layanan ini, wajib pajak dapat mendaftarkan diri sebagai pengusaha atau badan usaha yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Prosesnya pun cukup mudah dan cepat, tanpa perlu mengunjungi kantor pajak secara langsung.

Keuntungan Menggunakan E-Registration Pajak

E-registration pajak memiliki banyak keuntungan bagi wajib pajak. Berikut adalah beberapa diantaranya:

1. Kemudahan Akses

Dengan e-registration pajak, wajib pajak dapat mengakses layanan ini kapan saja dan dimana saja asalkan terhubung dengan internet. Tidak perlu lagi mengantri di kantor pajak atau mengisi formulir secara manual. Semua proses dapat dilakukan dengan mudah melalui komputer atau perangkat mobile.

2. Proses Cepat

Proses registrasi pajak melalui e-registration jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses manual. Wajib pajak hanya perlu mengisi data-data yang diperlukan dan mengunggah dokumen pendukung secara elektronik. Setelah itu, permohonan akan diproses oleh DJP dan wajib pajak akan mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam waktu singkat.

3. Keamanan Data

E-registration pajak menggunakan sistem yang aman dan terenkripsi untuk melindungi data pribadi wajib pajak. Informasi yang diinput oleh wajib pajak akan disimpan dengan baik dan tidak akan diakses oleh pihak yang tidak berwenang. Hal ini memberikan rasa aman dan nyaman bagi wajib pajak dalam menggunakan layanan ini.

4. Bantuan Online

Jika wajib pajak mengalami kesulitan atau memiliki pertanyaan terkait proses e-registration pajak, DJP juga menyediakan bantuan online melalui live chat atau email. Wajib pajak dapat menghubungi petugas pajak yang akan dengan senang hati membantu menjawab pertanyaan dan memberikan panduan yang diperlukan.

Cara Menggunakan E-Registration Pajak

Untuk menggunakan layanan e-registration pajak, wajib pajak perlu mengikuti langkah-langkah berikut:

1. Kunjungi Website DJP

Buka browser dan kunjungi website resmi Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.id

2. Pilih Layanan E-Registration

Pada halaman utama DJP, cari dan klik menu “E-Registration” atau “Pendaftaran Pajak”.

3. Daftar Akun

Jika belum memiliki akun, wajib pajak perlu mendaftar terlebih dahulu dengan mengklik tombol “Daftar Akun” atau “Register”. Isi data yang diperlukan dan ikuti petunjuk yang diberikan.

4. Isi Formulir

Setelah berhasil login, wajib pajak akan diarahkan ke halaman pengisian formulir e-registration. Isi semua data dengan lengkap dan benar sesuai dengan informasi yang diminta.

5. Unggah Dokumen Pendukung

Setelah mengisi formulir, wajib pajak perlu mengunggah dokumen-dokumen pendukung seperti KTP, NPWP jika sudah memiliki, dan dokumen lain yang diminta. Pastikan dokumen yang diunggah dalam format yang sesuai.

6. Verifikasi dan Proses

Setelah semua data dan dokumen terisi dengan benar, wajib pajak dapat mengirimkan permohonan e-registration. Permohonan akan diverifikasi oleh DJP dan wajib pajak akan mendapatkan notifikasi melalui email atau SMS mengenai status permohonan.

Dengan e-registration pajak, proses registrasi pajak menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien. Wajib pajak tidak perlu lagi repot-repot datang ke kantor pajak untuk mendaftarkan diri. Semua dapat dilakukan secara online melalui layanan ini. Jadi, jika Anda adalah seorang wajib pajak, manfaatkanlah kemudahan e-registration pajak ini dan nikmati semua keuntungannya.

Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran Membayar Pajak

Membayar pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara. Namun, tidak semua orang memiliki kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak. Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab rendahnya kesadaran membayar pajak. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa faktor tersebut.

Kurangnya Pendidikan Pajak

Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya kesadaran membayar pajak adalah kurangnya pendidikan pajak. Banyak orang tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang pentingnya membayar pajak dan bagaimana sistem pajak bekerja. Sebagai akibatnya, mereka mungkin tidak menyadari konsekuensi dari tidak membayar pajak atau bahkan tidak tahu cara membayar pajak dengan benar.

Pendidikan pajak yang kurang memadai juga dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman tentang penggunaan dana pajak. Beberapa orang mungkin merasa bahwa dana pajak mereka tidak digunakan dengan efektif atau bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat yang sebanding dengan jumlah pajak yang mereka bayar. Hal ini dapat mengurangi motivasi mereka untuk membayar pajak dengan sukarela.

Ketidakpercayaan Terhadap Pemerintah

Ketidakpercayaan terhadap pemerintah juga dapat menjadi faktor penyebab rendahnya kesadaran membayar pajak. Beberapa orang mungkin merasa bahwa pemerintah tidak transparan dalam penggunaan dana pajak atau dana pajak tersebut seringkali disalahgunakan. Ketidakpercayaan semacam ini dapat membuat orang enggan untuk membayar pajak dengan sukarela.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam penggunaan dana pajak dan memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana dana tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, orang-orang akan merasa lebih yakin dan memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk membayar pajak dengan sadar.

Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi

Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga dapat mempengaruhi kesadaran membayar pajak. Orang-orang yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit, mungkin merasa bahwa mereka tidak mampu membayar pajak atau pajak yang mereka bayar tidak akan memberikan manfaat yang signifikan bagi mereka.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu memperhatikan keadilan dalam sistem pajak dan memastikan bahwa pajak yang dikenakan tidak memberatkan masyarakat yang kurang mampu. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan bantuan dan dukungan kepada mereka yang membutuhkan agar mereka dapat memenuhi kewajiban pajak mereka.

Kurangnya Sanksi dan Penegakan Hukum

Kurangnya sanksi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran pajak juga dapat mengurangi kesadaran membayar pajak. Jika orang merasa bahwa mereka dapat menghindari sanksi atau risiko melanggar pajak adalah rendah, mereka mungkin cenderung untuk tidak membayar pajak dengan sadar.

Pemerintah perlu meningkatkan efektivitas penegakan hukum terkait pelanggaran pajak dan memberlakukan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak memenuhi kewajiban pajak. Hal ini akan memberikan efek jera dan mendorong orang untuk membayar pajak dengan sadar.

Kurangnya Kesadaran Akan Dampak Positif Pajak

Kurangnya kesadaran akan dampak positif pajak juga dapat menjadi faktor penyebab rendahnya kesadaran membayar pajak. Banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa pajak merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah untuk membiayai berbagai program dan proyek yang bermanfaat bagi masyarakat.

Sebagai warga negara yang baik, kita perlu menyadari bahwa membayar pajak adalah bentuk kontribusi kita untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama. Dengan membayar pajak secara sadar, kita turut berperan dalam pembangunan negara dan membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kesimpulan

Rendahnya kesadaran membayar pajak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya pendidikan pajak, ketidakpercayaan terhadap pemerintah, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kurangnya sanksi dan penegakan hukum, serta kurangnya kesadaran akan dampak positif pajak. Untuk meningkatkan kesadaran membayar pajak, pemerintah perlu meningkatkan pendidikan pajak, meningkatkan transparansi dalam penggunaan dana pajak, memperhatikan keadilan dalam sistem pajak, meningkatkan efektivitas penegakan hukum terkait pelanggaran pajak, dan meningkatkan kesadaran akan dampak positif pajak.