Pemungutan Pajak Penghasilan untuk Pedagang Online : Pajak yang Sudah Ada atau Pajak Baru?

Pemerintah Indonesia terus memperkuat sistem perpajakan di era ekonomi digital, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 37 Tahun 2025. Peraturan ini mewajibkan penunjukan pihak lain untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (atau PDN) yang melakukan transaksi melalui Sistem Perdagangan Berbasis Elektronik (PMSE). Dengan kata lain, perdagangan dalam sistem elektronik tidak hanya dikenakan PPN, tetapi juga Pajak Penghasilan Pasal 22. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan keadilan dan meningkatkan kepatuhan pajak di sektor digital yang sedang berkembang. Dalam ketentuan ini, Menteri Keuangan dapat menunjuk pihak lain sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, dan kewenangan tersebut dapat didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Penunjukan tersebut berlaku baik bagi penyelenggara PMSE yang berkedudukan di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pihak lain yang dapat ditunjuk harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu transaksi tersebut menggunakan escrow account dengan total nilai transaksi melebihi jumlah tertentu serta jumlah pengaksesnya melebihi batas tertentu dalam 12 bulan. Batasan nilai transaksi dan jumlah pengakses dijelaskan dan ditentukan dalam PER 15 Tahun 2025. Dalam PER 15 Tahun 2025 Nilai Batasan tertentu meliputi nilai transaksi dengan pemanfaatan Barang/Jasa melebihi Rp 600 juta dalam jangka waktu 1 tahun atau sebesar Rp 50 juta dalam 1 bulan-nya serta dengan jumlah pelanggan melebihi 12.000 dalam jangka waktu 1 tahun atau 1.000 dalam 1 bulan-nya. PDN dalam konteks ini mencakup orang pribadi atau badan yang menerima penghasilan melalui rekening bank atau keuangan sejenis, serta bertransaksi menggunakan IP address atau nomor telepon Indonesia. Termasuk dalam kategori ini adalah perusahaan ekspedisi, asuransi, dan pihak lain yang menjual barang/jasa melalui PMSE.

PDN wajib menyampaikan informasi seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat korespondensi. Selain itu, terdapat beberapa informasi tambahan juga yang perlu disampaikan oleh PDN tergantung pada omzet yang diterima oleh PDN tersebut, yaitu:

  1. Omzet ≤ Rp500 juta: Wajib menyampaikan surat pernyataan omzet kurang dari Rp500 juta.
  2. Omzet > Rp500 juta: Harus menyampaikan surat pernyataan omzet yang lebih besar, paling lambat akhir bulan saat omzet melebihi Rp500 juta.
  3. Memiliki SKB Pot/Put: Harus menyampaikan surat keterangan bebas pemotongan/pemungutan PPh.

Pihak lain wajib memungut PPh Pasal 22 atas penghasilan PDN dari transaksi melalui PMSE. Besaran pungutan adalah 0,5% dari peredaran bruto yang tertera dalam dokumen tagihan (tidak termasuk PPN dan PPnBM). Pemungutan dilakukan saat pembayaran diterima oleh pihak lain. PPh Pasal 22 yang dipungut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dalam tahun berjalan bagi PDN yang menerima penghasilan tidak final atau pelunasan PPh final bagi PDN yang menerima penghasilan Final (omset <Rp. 4.800.000.000).  Jika terdapat selisih kurang pungut terkait dengan pemungutan PPh Pasal 22, PDN tersebut wajib menyetorkannya sendiri. Sebagai contoh:

Apabila terdapat selisih lebih Pajak Penghasilan Pasal 22, maka permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan sesuai ketentuan perpajakan melalui sistem Coretax.

 

Lebih lanjut, terdapat beberapa jenis transaksi yang tidak dipungut PPh Pasal 22 oleh pihak lain, antara lain:

  1. Penjualan oleh Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet ≤ Rp500 juta yang sudah menyampaikan surat pernyataan.
  2. Jasa ekspedisi oleh mitra aplikasi angkutan.
  3. Penjualan oleh PDN dengan SKB Pot/Put.
  4. Penjualan pulsa, kartu perdana, emas perhiasan/batangan, batu permata, dan pengalihan hak atas tanah/bangunan.

Namun demikian, atas penghasilan yang tidak dipungut PPh Pasal 22 oleh pihak lain tersebut, PPh tetap terutang dan harus dipenuhi melalui mekanisme lain sesuai peraturan perpajakan.

PDN harus membuat dokumen tagihan atas nama sendiri melalui sistem elektronik pihak lain. Dokumen ini setidaknya harus memuat nomor dan tanggal, nama pihak lain, akun PDN, identitas pembeli, rincian barang/jasa, harga, dan nilai PPh Pasal 22. Dokumen ini dipersamakan sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22. Jika terjadi kesalahan atau pembatalan, PDN wajib membuat dokumen pembetulan atau pembatalan yang merujuk pada dokumen awal. Dokumen ini juga dibuat melalui sistem pihak lain dan tetap diakui sebagai bukti pemungutan.

Pihak lain harus menyetorkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut ke kas negara tiap masa pajak. Selain itu, mereka wajib melaporkan informasi yang mencakup:

  1. Nama, akun, dan negara PDN.
  2. NPWP/tax ID dan alamat korespondensi pihak lain.
  3. Alamat email atau nomor telepon pembeli.
  4. Informasi dalam dokumen tagihan maupun dokumen pembetulan/pembatalan.
  5. Jumlah PPh Pasal 22 yang dipungut dan disetor.

Penerapan PMK 37 Tahun 2025 tentunya membawa risiko tersendiri bagi wajib pajak, khususnya PDN. Dengan adanya kewajiban baru untuk menyampaikan informasi dan potensi pemungutan otomatis oleh pihak lain, para pedagang perlu lebih cermat dalam mengelola administrasi perpajakannya. Apabila surat pernyataan penghasilan bruto atau surat keterangan bebas pemotongan tidak disampaikan tepat waktu, pemungutan PPh tetap dapat dilakukan meskipun seharusnya dibebaskan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak yang mengharuskan pengajuan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang, atau bahkan menimbulkan kekurangan pembayaran yang harus disetorkan. Selain itu, peningkatan transparansi dan pelaporan digital dari platform kepada otoritas pajak berpotensi meningkatkan pengawasan terhadap setiap transaksi. Oleh karena itu, memahami dan mematuhi ketentuan ini menjadi penting agar pelaku usaha tidak menghadapi risiko administratif maupun finansial yang tidak diinginkan.

PMK Nomor 37 Tahun 2025 memperluas cakupan regulasi perpajakan digital yang sebelumnya telah diatur dalam PMK Nomor 210 Tahun 2018 dan PMK Nomor 48 Tahun 2020 beserta aturan turunannya. Jika PMK Nomor 210 Tahun 2018 lebih menekankan pada perlakuan pajak atas e-commerce secara umum, dan PMK Nomor 48 Tahun 2020 berfokus pada pemungutan PPN atas PMSE, maka PMK Nomor 37 Tahun 2025 menjadi terobosan dengan menetapkan mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain (seperti platform digital) terhadap pedagang dalam negeri. Kebijakan ini juga menetapkan batas omzet sebagai dasar pengecualian pemungutan, memperkenalkan sistem digitalisasi bukti pemungutan, serta mewajibkan pelaporan data yang lebih rinci. Ini mencerminkan upaya pemerintah menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan dinamika transaksi digital yang terus berkembang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *